Selasa, 01 Desember 2009

Jakarta Tempo Doeloe

Menyusuri jejak Jakarta tempo doeloe terasa menyenangkan. Menyusuri daerah kota yang begitu kental nuansa kota tua-nya, disanalah cikal bakal Jakarta yang sekarang sudah berkembang sangat luas.

Museum Sejarah Jakarta yang berseberangan dengan stasiun kota dulunya adalah bangunan bekas Balai Kota. Bangunan bertingkat dua ini menjadi pusat kota lama selesai dibangun 1712. Kegiatan di Balai Kota mengurusi masalah perkawinan, peradilan dan perdagangan, sampai dijuluki “Gedung Bicara”. Kemudian Balai Kota juga menjadi penjara yang menyeramkan selain sebagai pusat milisi 1620-1815. Tahun 1925 menjadi kantor pemerintah Jawa Barat sampai perang dunia II. Setelah perang dunia II Balai Kota dipakai sebagai markas tentara. Waktu Gubernur Ali Sadikin gedung dipugar dan sejak 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta.

Awalnya Jakarta (Batavia) dirancang sesuai kebiasaan Belanda dengan jalan-jalan lurus dan parit-parit. Dibawah Gubernur Jenderal Jacques Specx perkembangan kota Batavia makin pesat, Kali Besar yang semula berkelok diluruskan menjadi parit terurus dan lurus menerobos kota.

Kota dikelilingi gudang yang dipakai untuk menyimpan lada, pala serta kopi dan teh. Sebagian besar gudang penting digunakan sebagai Museum Bahari. HIngga awal abad ke-18 Kali Besar adalah kawasan elit Batavia. Ada rumah koppel yang dikenal Toko Merah, karena balok, kusen dan papan dinding dalam di cat merah. Dibangun tahun 1730 oleh G.von Inhoff sebelum menjadi Gubernur Jenderal. Akhir abad ke-18 citra Batavia menurun akibat gempa bumi dahsyat yang terjadi malam tanggal 4 & 5 November 1699. Gempa disertai letusan gunung api dan hujan abu tebal.

Perubahan terjadi waktu pemerintahan Marsekal Daendels 1809. Membangun istana Daendels di dekat Lapangan Banteng. Kawasan pasar Senen juga termasuk dibangun 30 Agutstus 1735. Pasar Tanah Abang juga dibangun di tahun yang kurang lebih sama. Ternyata banyak sekali kawasan di Jakarta ini terutama di daerah kota yang begitu merepresentasikan adanya jaman kolonial. Model-model bangunan yang diadaptasi dari arsitektur Eropa dan Tionghoa. Sebelum membangun Batavia 1619, Gubernur Jenderal mendatangkan etnis Tionghoa yang dianggap rajin dan gigih dalam bekerja. Kemudian etnis ini berkembang terutama setelah pemberontakan 1740.

Di kawasan Kwitang juga masih ada beberapa bangunan yang masih bergaya kolonial dan mungkin belum banyak yang tahu bahwa nama Kwitang berasal dari nama orang Cina kaya raya bernama Kwik Tang Kiam. Penamaan Jayakarta (Jakarta) diperoleh dari adipati yang ke-3 yaitu Jayawikarta atau Wijayakarta.

Jaman kolonial Batavia akan dijadikan ibukota suat perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang dengan orang Belanda yang memonopoli. Juga diperintahkan untuk membangun galangan kapal dan rumah sakit, penginapan dan toko (ini ada di P.Onrust), 2 gereja (di dalam dan diluar benteng)

Kalau melihat koleksi lukisan foto yang ada di Perpustakaan Nasional, Salemba kita akan melihat bagaimana keadaan Batavia pada tahun sekitar 1700-an. Banyak lahan-lahan luas, hijau, mungkin tingkat polusi juga tidak seperti sekarang. Memang keadaan saat ini tidak bisa dibandingkan. Zaman memang berubah dan pastinya dengan banyaknya berbagai macam jenis kultur yang masuk ke Jakarta membuat wajah Jakarta seperti sekarang ini. Menjadi kota yang nyaris 24 jam tetap beraktivitas. Banyaknya gedung-gedung bertingkat, mal, apartemen dan menjadi tujuan pemkot Jakarta bahwa akan menjadikan Jakarta sebagai kota Megapolitan membuat daerah-daerah resapan air berkurang dan akhirnya disaat musim penghujan datang timbul kecemasan disana-sini akan datangnya banjir. Mungkin disebagian daerah di Jakarta ini sudah terbiasa dengan keadaan banjir disaat musim penghujan, tapi apakah keadaan seperti ini akan terus berlangsung tanpa adanya perubahan?

Kiranya sejarah Jakarta ini bisa dikenalkan pada generasi muda sekarang, bahkan mulai dari anak-anak sehingga nantinya mereka tidak hanya tinggal di Jakarta, tapi juga hidup dengan kota yang mereka tinggali dengan mengenal latar belakang sejarah kotanya, begitu juga dengan pendatang yang setidaknya juga tahu sejarah kota yang didatangi, ditinggali dan dijadikan tempat mengadu nasib. Dengan demikian diharapkan sejarah suatu kota itu tidak hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar